Desa Majasem, lokus masyarakat yang juga menjadi tempat Tim KKN-PPM UGM Kelana Kendal Ngawi Periode IV Tahun 2023 bermukim dan berdinamika. Di desa inilah, Tim KKN-PPM UGM berkutat dengan aktivitas keseharian masyarakat di desa dan berinovasi untuk mendorong perkembangan desa. Salah satu hal yang menarik, Tim KKN-PPM UGM berkesempatan untuk menjajaki perjalanan intelektual dan praktikal mereka dengan tujuan utama: mengungkap dan meresapi sejarah Desa Majasem yang mungkin telah terlupakan seiring berjalannya waktu. Terlebih, cukup minim data sekunder yang menceritakan terkait bagaimana desa ini dapat berdiri hingga sekarang. Oleh karenanya, Tim KKN-PPM UGM mencoba menyusuri lorong waktu dan berbaur dengan masyarakat setempat untuk mengumpulkan informasi.
Perjalanan dimulai dengan melakukan sowan ke kediaman beberapa stakeholder terkait, seperti kediaman Kepala Desa, Kepala Dusun, hingga Ketua RT, dan Ketua RW, sembari berdiskusi terkait sejarah desa ini. Kendati demikian, mereka tidak secara penuh mengetahui sejak awal bagaimana desa ini berdiri.
Perjalanan berlanjut dengan penelusuran arsip lokal di Kantor Kepala Desa dan kami memperoleh arsip profil desa yang cukup lengkap menjelaskan selayang pandang berdirinya Desa Majasem. Kami mencoba mengumpulkan informasi secara lebih lengkap untuk nantinya kami bandingkan dengan catatan arsip profil desa dengan melakukan wawancara yang lebih mendalam (in depth interview) kepada beberapa pihak, seperti salah satunya sesepuh desa dan anak keturunan pendiri desa. Untuk sesepuh, kami melakukan wawancara terhadap Pak Yakub yang merupakan mantan Kepala Dusun Sapen dan dikatakan pernah sempat mencalonkan sebagai Kepala Desa Majasem tetapi gagal. Beliau berusia lebih dari 80 tahun dan telah menjajaki berbagai zaman di desa ini. Sedangkan untuk anak keturunan desa, kami berhasil melakukan wawancara kepada Pak Heri yang mana selain merupakan keturunan pendiri desa, beliau juga merupakan pebisnis lele yang sukses di Desa Majasem. Hasil wawancara menunjukkan bahwa ada dua versi cerita terkait dengan berdirinya desa ini. Apa yang dikatakan Pak Yakub hampir sebagian besar selaras dengan apa yang dituliskan dalam profil desa. Sedangkan apa yang diutarakan oleh Pak Heri justru sebaliknya. Kendati demikian, perlu digaris bawahi bahwa kedua versi cerita tersebut memiliki persamaan terkait asal muasal nama “majasem” yang berasal dari kata “mojo” dan “asem”.
Selayang Pandang Desa Majasem
Versi 1
Sebagaimana tertulis dalam arsip profil desa dan penuturan narasumber, desa dengan mayoritas penduduk yang berprofesi sebagai petani dan memiliki 6 dusun yaitu Dusun Sondriyan, Dusun Tegalsari, Dusun Sapen, Dusun Krajan, Dusun Pentuk Pelem, dan Dusun Jatisari ini dibuka pertama kali oleh seseorang pejuang bernama Sosronggolosuro. Diceritakan bahwa Eyang Sosronggolosuro tidak sendirian, melainkan bersama sang anak bernama Ki Wonontiko. Mas Nanang, Ketua Karang Taruna Kecamatan Kendal, Ngawi, menuturkan bahwa dalam beberapa sumber terdahulu diceritakan bahwa Sosronggolosuro dan sang anak merupakan keturunan Keraton Yogyakarta yang melakukan perjalanan untuk mencari tempat menetap setelah melarikan diri dari pihak Belanda yang hendak menangkap mereka ketika perang Diponegoro.
“Masyarakat setempat sebenarnya masih keturunan Keraton Yogyakarta karena pendiri pertama desa ini diceritakan berasal dari Keraton Yogyakarta” ucap Mas Nanang. Beliau juga menambahkan bahwa sempat ada masyarakat setempat yang bahkan melakukan validasi langsung ke Keraton Yogyakarta.
Kendati demikian, dalam perjalanannya mereka menemukan banyak rintangan, seperti dihadangnya mereka oleh seekor simo besar hingga terjadi pergulatan antara Eyang Sosronggolosuro dengan seekor Simo tadi dan berakhir dengan kematian sang simo. Akibat peristiwa ini, maka daerah tempat terjadi pergumulan tersebut dinamakan Desa Simo.
Tak sampai disini, mereka kembali melanjutkan perjalanan ke arah timur dan seakan belajar dari pengalaman sebelumnya, mereka menciptakan jerat dengan memasang bambu welahan yang ditanam kokoh di tanah untuk menghindari ancaman dari binatang buas. Oleh karenanya, wilayah ini dikenal dengan nama Welahan. Perjalanan beliau kembali dilanjut dengan membabat hutan hingga ditemukannya dua pohon yang letaknya berdekatan di tengah sawah dekat dengan sebuah makam. Berangkat dari penemuan dua pohon itu lah, wilayah yang di babat pada akhirnya diberi nama Majasem yang berasal dari kata Mojo dan Asem.
“Desa ini asalnya diambil dari nama pohon maja dan pohon asem yang dulu ditemukan oleh Eyang Sosronggolosuro. Sekarangnya letak pohonnya ada di wilayah Setinggen, Dusun Krajan” tutur Pak Yakub.
Diketahui dari arsip dan penuturan Pak Yakub ada lebih dari 10 lurah atau kepala desa yang pernah memimpin desa ini. Mereka adalah,
NO |
NAMA |
MASA JABATAN |
KETERANGAN |
1 |
PURENG |
- |
Lurah Pertama |
2 |
SASTRO |
- |
Lurah Kedua |
3 |
PENSIUN |
- |
Lurah Ketiga |
4 |
HUMBUH |
- |
Lurah Keempat |
5 |
HARJO SENTONO |
- |
Lurah Kelima |
6 |
KUSTIN |
- |
Lurah Keenam |
7 |
SARDI |
1950-1957 |
Lurah Ketujuh |
8 |
SUKUR |
1957-1978 |
Lurah Kedelapan |
9 |
JAYEN |
1978-1983 |
Lurah Kesembilan |
10 |
BUDI |
1983-1994 |
Lurah Kesepuluh |
11 |
SETYO ARMODO |
1994-2004 |
Lurah Kesebelas |
12 |
SETYO ARMODO |
2004-2009 |
Lurah Kedua belas |
13 |
MOHAMAD THOHA |
2009-2015 |
Lurah Ketiga belas |
14 |
NUR MUHAMADI |
2015- 2021 |
Lurah Keempat belas |
15 |
SUHADI PURNOMO |
2021- 2027 |
Lurah Kelima belas |
Versi 2
Cerita terkait sejarah Desa Majasem juga hadir dari Pak Heri yang mengaku sebagai keturunan langsung pendiri desa ini. Alih-alih eyang sosronggolosuro, cerita berdirinya Desa Majasem versi ini didirikan oleh Mbah Kabuk dari Sukowati, Solo, dengan susunan silsilah sebagaimana tercantum pada gambar. Peletakan figura silsilah tersebut berada di sekitar makam pendiri di Dusun Krajan. Dari gambar tersebut terlihat bahwasanya Mbah Kabuk memiliki putra bernama Mbah Bengis. Mbah Bengis sendiri memiliki dua putra yaitu Mbah Lurah Sastrosentono dan Mbah Sumo yang masing-masing diantara mereka memiliki keturunan yang turut berperan baik dalam urusan kepemerintahan maupun penyebaran agama. Ketika ditanya terkait kaitannya dengan Eyang Sosronggolosuro sebagaimana cerita pada versi pertama, Pak Heri mengaku tidak mengetahuinya. Kendati demikian, beliau menyebut ada besar kemungkinan bahwa Eyang Sosronggolosuro yang dimaksud pada cerita versi pertama merupakan nama lain dari Mbah Kabuk.
“Saya kurang tau kalau itu, mungkin Sosronggolosuro yang dimaksud ya Mbah Kabuk ini sebagai yang babat pertama desa ini” tutur Pak Herry.
Kendati ada perbedaan versi cerita, inti penamaan desa ini berasal dari inti hal yang sama yaitu penemuan pohon yang saling berdekatan yaitu pohon maja dan pohon asem, sehingga disebutlah Desa Majasem.
Dengan menggali dan mengungkap sejarah Desa Majasem, kita tidak hanya menemukan akar-akar berharga yang membentuk identitasnya, tetapi juga membuka lembaran buku berharga yang mencatat perjalanan kolektif suatu masyarakat. Dengan memahami bagaimana desa ini tumbuh dan berkembang, kita dapat lebih menghargai warisan yang telah ditinggalkan oleh para pendahulu. Semoga cerita Desa Majasem akan terus dipersembahkan dan dijaga sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan sejarah lokal, menginspirasi generasi-generasi mendatang untuk terus merawat dan membangun masa depan yang lebih baik.